Ibarat jodoh, memilih properti sebagai instrumen investasi sekaligus tempat tinggal butuh perhitungan matang, selera, dan juga intuisi.
CEO Leads Property Indonesia Hendra Hartono menggambarkan, properti yang paling menarik baik secara fisik (lokasi strategis, kualitas bangunan nomor wahid, dan desain atraktif) maupun pengelolaan dan potensi investasi, pasti banyak yang melirik.
"Mereka akan diburu. Properti seperti ini punya nilai jual tinggi dan potensial untuk terus tumbuh karena memberikan keuntungan. Namun jangan salah pilih, membeli properti yang mana yang lebih menarik," tutur Hendra kepada Kompas.com, pekan lalu.
Nah, sejalan kembali populernya konsep properti small office home office (SOHO) yang digemakan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), Hendra menilai sebagai tambahan pilihan bagi konsumen dan investor properti.
Namun, bila harus dihadapkan pada dua pilihan, SOHO dan kondominium hotel (kondotel) yang bersifat sama yakni sebagai hunian juga tempat bisnis, Hendra menyarankan untuk memilih SOHO.
Menurutnya, meski tidak banyak pasokan, SOHO sudah mulai diterima masyarakat Indonesia dan "hidup" di area yang padat aktivitas bisnis dan komersial. Ini lantaran SOHO pada dasarnya merupakan ruko yang dijadikan high rise building.
SOHO juga sesuai untuk para pebisnis pemula, atau perusahaan rintisan (start up company) yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Mengutip dailysocial.net , terdapat 1.500 start up lokal dengan nilai bisnis mencapai 13 miliar dollar AS atau sekitar Rp 175 triliun pada 2015. Pemerintah menargetkan potensi itu meningkat menjadi 130 miliar dollar AS (Rp 1.750 triliun) pada 2020 mendatang.
Angka tersebut merupakan potensi kebutuhan yang menarik jadi bahan pertimbangan pengembang dan investor untuk membangun SOHO.
Harus strategis
Hendra memaparkan, konsep properti SOHO perdana di Indonesia dikembangkan PT Duta Anggada Realty Tbk melalui proyek Citiloft pada medio 1997-1999. Serapannya cukup tinggi.
Meskipun tingkat serapan cukup tinggi, namun saat itu tidak banyak pengembang yang teratrik membangun SOHO. Terlebih saat itu krisis multidimensi tengah melanda Indonesia dan juga negara-negara Asia lainnya.
Satu yang pasti, jika ingin membangun SOHO, Hendra menyarankan untuk memilih lokasi yang strategis di pusat kota yang dikelilingi properti-properti komersial.
"Selain itu, karena sifatnya fleksibel, bisa untuk hunian dan juga kantor, SOHO akan menarik kalangan muda tadi yang tengah getol membangun start up," sebut Hendra.
Hanya dengan Rp 600 juta atau Rp 1,5 miliar, misalnya, mereka sudah mengantongi dua fungsi rumah dan kantor dalam satu properti.
Bandingkan dengan kondotel atau vilatel (vila dan hotel) yang lebih layak (feasible) dikembangkan di kawasan-kawasan wisata utama macam Bali, Yogyakarta, atau Bandung.
"Di ketiga tempat itu sebagai destinasi wisata favorit, banyak turis bermotif wisata yang membutuhkan tempat bermalam. Jadi, kondotel dan vilatel cocok dibangun di sana," tandas Hendra.
Sebaliknya, jika bukan dibangun di destinasi-destinasi wisata favorit, akan butuh waktu lama untuk mengembalikan modal. Konon pula imbal hasil.
Di lokasi wisata favorit saja, modal kembali butuh waktu setidaknya 8 tahun hingga 10 tahun dengan asumsi tingkat hunian lebih dari 70 persen.
Sumber http://properti.kompas.com/
CEO Leads Property Indonesia Hendra Hartono menggambarkan, properti yang paling menarik baik secara fisik (lokasi strategis, kualitas bangunan nomor wahid, dan desain atraktif) maupun pengelolaan dan potensi investasi, pasti banyak yang melirik.
"Mereka akan diburu. Properti seperti ini punya nilai jual tinggi dan potensial untuk terus tumbuh karena memberikan keuntungan. Namun jangan salah pilih, membeli properti yang mana yang lebih menarik," tutur Hendra kepada Kompas.com, pekan lalu.
Nah, sejalan kembali populernya konsep properti small office home office (SOHO) yang digemakan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), Hendra menilai sebagai tambahan pilihan bagi konsumen dan investor properti.
Namun, bila harus dihadapkan pada dua pilihan, SOHO dan kondominium hotel (kondotel) yang bersifat sama yakni sebagai hunian juga tempat bisnis, Hendra menyarankan untuk memilih SOHO.
Menurutnya, meski tidak banyak pasokan, SOHO sudah mulai diterima masyarakat Indonesia dan "hidup" di area yang padat aktivitas bisnis dan komersial. Ini lantaran SOHO pada dasarnya merupakan ruko yang dijadikan high rise building.
SOHO juga sesuai untuk para pebisnis pemula, atau perusahaan rintisan (start up company) yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Mengutip dailysocial.net , terdapat 1.500 start up lokal dengan nilai bisnis mencapai 13 miliar dollar AS atau sekitar Rp 175 triliun pada 2015. Pemerintah menargetkan potensi itu meningkat menjadi 130 miliar dollar AS (Rp 1.750 triliun) pada 2020 mendatang.
Angka tersebut merupakan potensi kebutuhan yang menarik jadi bahan pertimbangan pengembang dan investor untuk membangun SOHO.
Harus strategis
Hendra memaparkan, konsep properti SOHO perdana di Indonesia dikembangkan PT Duta Anggada Realty Tbk melalui proyek Citiloft pada medio 1997-1999. Serapannya cukup tinggi.
Meskipun tingkat serapan cukup tinggi, namun saat itu tidak banyak pengembang yang teratrik membangun SOHO. Terlebih saat itu krisis multidimensi tengah melanda Indonesia dan juga negara-negara Asia lainnya.
Satu yang pasti, jika ingin membangun SOHO, Hendra menyarankan untuk memilih lokasi yang strategis di pusat kota yang dikelilingi properti-properti komersial.
"Selain itu, karena sifatnya fleksibel, bisa untuk hunian dan juga kantor, SOHO akan menarik kalangan muda tadi yang tengah getol membangun start up," sebut Hendra.
Hanya dengan Rp 600 juta atau Rp 1,5 miliar, misalnya, mereka sudah mengantongi dua fungsi rumah dan kantor dalam satu properti.
Bandingkan dengan kondotel atau vilatel (vila dan hotel) yang lebih layak (feasible) dikembangkan di kawasan-kawasan wisata utama macam Bali, Yogyakarta, atau Bandung.
"Di ketiga tempat itu sebagai destinasi wisata favorit, banyak turis bermotif wisata yang membutuhkan tempat bermalam. Jadi, kondotel dan vilatel cocok dibangun di sana," tandas Hendra.
Sebaliknya, jika bukan dibangun di destinasi-destinasi wisata favorit, akan butuh waktu lama untuk mengembalikan modal. Konon pula imbal hasil.
Di lokasi wisata favorit saja, modal kembali butuh waktu setidaknya 8 tahun hingga 10 tahun dengan asumsi tingkat hunian lebih dari 70 persen.
Sumber http://properti.kompas.com/
Komentar
Posting Komentar